nama : yunita eka m
npm : 19513603
kelas : 3PA14
contoh kasus terapi bermain
Kasus : Anak Hiperaktif (ADHD)
Berdasarkan informasi yang didapatkan dari orang tua Rudi mengenai perilaku Rudi yang selalu berlarian tanpa henti, membuat berantakan seluruh mainan tanpa menggunakannya untuk bermain (hanya dilempar-lempar kemana saja), sering memukul dan menendang tanpa alasan bahkan terkadang saat memegang benda juga digunakan untuk melempar atau memukul, makan sambil berlarian dan berantakan seluruh makanannya, tidak memperhatikan jika diberitahu sesuatu, suka berteriak-teriak kasar, dan membanting benda-benda terutama jika permintaannya tidak segera dipenuhi, maka Rudi dapat dikategorikan bahwa ia mengalami hiperaktif (ADHD). Dimana ketika Rudi berada di sekolah, Rudi terlihat kesulitan mengikuti proses belajar karena dia selalu saja berlari dan sulit sekali diminta duduk di kursinya. Guru dan teman-teman lain merasa terganggu karena setiap kali Rudi diminta duduk, beberapa detik kemudian sudah berlari-lari lagi keliling ruang kelas sambil mengganggu temannya atau sampai keluar kelas.
Dalam kasus tersebut dilakukan terapi bermain dengan 2 teknik, yaitu teknik bercerita dan teknik bermain. Bercerita secara psikologis membaca atau bercerita merupakan salah satu bentuk bermain yang paling sehat. Kebanyakan anak kecil lebih menyukai cerita tentang orang dan hewan yang dikenalnya. Selain itu karena anak kecil cenderung egosentrik mereka memyukai cerita yang berpusat pada dirinya. Mula-mula anak-anak suka cerita imajinatif yang khayal kemudian seiring dengan berkembangnya kecerdasan dan pengalaman sekolah anak yang lebih besar menjadi realistik, dan minatnya pun beralih ke cerita petualangan, kekerasan, kemewahan dan cinta serta pendidikan. Menceritakan cerita memberikan cara yang menyenangkan untuk mengembangkan raport dan belajar tentang anak. Ketika anak menceritakan cerita mereka, mereka mengkomunikasikan informasi penting tentang diri mereka sendiri dan keluarga mereka sambil belajar mengekspresikan dan menguasai perasaan mereka. Dengan mendengarkan cerita anak, terapis dapat memahami lebih baik pertahanan diri anak, konflik anak, dan dinamika keluarga anak. Dalam menganalisis cerita anak, terapis harus mencari tema yang diulang yang dapat memberikan kunci penting tentang perasaan perasaan dan perjuangan anak. Terapis harus sangat akrab dan terampil dalam menginterpretasikan komunikasi simbolik secara wajar. Semua ini tergantung pada keterampilan dan pertimbangan terapis. Bermain selama masa kanak-kanak mempunyai karakteristik yang berbeda dibandingkan permainan remaja danorang dewasa. Permainan anak kecil bersifat spontan dan informal. Secara bertahap bermain menjadi semakin formal. Dengan berkembangnya kemampuan berpikir anak, anak mulai mengembangkan permaianan dengan aturan. Permainan individu dan kelompok membantu anak belajar bagaimana membagi kelompok dan bermain dengan aturan. Permainan mengajar anak tentang mendisiplin diri, serta belajar untuk menang dan kalah. Permainan yang diterapkan untuk terapi bermain dapat dimainkan sendiri maupun berkelompok. Terapis dilakukan dengan beberapa tahap, dan subjek dibantu oleh seluruh anggota keluarga, khususnya ibu subjek yang harus terus berada di samping subjek.
Jumat, 17 Juni 2016
Terapi Bermain SOFTSKILL PSIKOTERAPI
Nama : Yunita Eka M
Npm : 19513603
Kelas : 3PA14
Tugas softskill psikoterapi 4 ( terapi bermain)
Terapi Bermain
1. Sejarah singkat perkembangan teori bermain
Bermain pada awalnya belum mendapat perhatian khusus dari para ahli jiwa, karena terbatasnya pengetahuan tentang psikologi perkembangan anak dan kurangmya perhatian mereka terhadap perkembangan anak. Salah satu tokoh yang dianggap berjasa untuk meletakkan dasar tentang bermain adalah seorang filsuf Yunani bernama Plato. Plato dianggap sebagai orang pertama yang menyadari dan melihat pentingnya nilai praktis dari bermain.
Bermain juga dapat digunakan oleh guru atau orang dewasa lainnya untuk membina hubungan dengan anak, karena selama bermain suasananya bebas maka anak merasa tidak takut-takut untuk bermain bersama. Hal ini sangat berguna untuk membantu membina hubungan dengan anak-anak yang sulit menyesuaikan diri, tapi perlu diingat agar suasana diciptakan sedemikian rupa sehingga anak tidak merasa dipaksa atau terpaksa. Kadang-kadang diperlukan beberapa kali pertemuan atau kegiatan bersama anak sampai anak merasa lebih bebas, relaks. Karena kegiatan bermain tidak akan muncul bila anak merasa asing dengan lingkungannya.
2. Manfaat terapi bermain
Bermain dapat digunakan sebagai media psikoterapi atau “pengobatan” terhadap anak yang dikenal dengan sebutan terapi bermain. Bermain dapat digunakan sebagai media terapi karena selama bermain perilaku anak akan tampil lebih bebas, dan bermain adalah sesuatu yang secara alamiah sudah terberi pada seorang anak. Untuk melakukan terapi ini diperlukan pendidikan dan pelatihan khusus dari ahli yang bersangkutan dan tidak boleh dilakukan dengan sembarangan.
3. Fungsi bermain dalam perkembangan kompetensi diri
a. Bermain dapat merangsang perkembangan kognitif anak. Dengan bermain anak dapat menyelidiki lingkungan belajar tentang objek dan penyelesaian masalah
b. Bermain mempelancar perkembangan sosial anak. Khususnya dalam bermain fantasi dan khayalan dengan bermain peran, anak belajar mengerti oranglain dan bermain peran yang akan diperankan apabila bertambah usianya.
c. Bermain memungkinkan anak menyelesaikan masalah emosi. Anak belajar mengetasi ketakutan, konflik dalam dirinya dengan situasi yang tidak mengancam.
4. Permainan untuk memfasilitasi ekspresi diri dapat berupa bentuk-bentuk berikut:
1. Mainan kehidupan nyata. Boneka yang terdiri atas keluarga (ibu, bapak, anak), boneka rumah-rumahan, binatang peliharaan, atau tokoh kartun dapat menjadi media untuk mengekpresikan perasaan secara langsung. Terapis juga dapat menggunakan mainan keseharian seperti mobil-mobilan, alat masak memasak tiruan, kartu bergambar , atau kapal-kapalan untuk melihat pengalaman hidup klien.
2. Mainan pelepas agresivitas-bermain peran. Klien dapat mengkomunikasikan emosi yang terpendam melalui mainan atau materi seperti karung tinju, boneka tentara, boneka dinosaurus dan hewan-hewan buas, pistol dan pisau mainan, boneka orang, dan balok kayu.
3. Mainan pelepas emosi dan ekspresi kreativitas. Pasir, air, balok, atau lilin dapat menjadi sarana klien mengekspresikan emosi atau kreativitasnya.
Daftar Pustaka:
Tedjasaputra, S, Mayke. (2001). Bermain, mainan, dan permainan untuk pendidikan usia dini. Jakarta: PT Grasindo.
Npm : 19513603
Kelas : 3PA14
Tugas softskill psikoterapi 4 ( terapi bermain)
Terapi Bermain
1. Sejarah singkat perkembangan teori bermain
Bermain pada awalnya belum mendapat perhatian khusus dari para ahli jiwa, karena terbatasnya pengetahuan tentang psikologi perkembangan anak dan kurangmya perhatian mereka terhadap perkembangan anak. Salah satu tokoh yang dianggap berjasa untuk meletakkan dasar tentang bermain adalah seorang filsuf Yunani bernama Plato. Plato dianggap sebagai orang pertama yang menyadari dan melihat pentingnya nilai praktis dari bermain.
Bermain juga dapat digunakan oleh guru atau orang dewasa lainnya untuk membina hubungan dengan anak, karena selama bermain suasananya bebas maka anak merasa tidak takut-takut untuk bermain bersama. Hal ini sangat berguna untuk membantu membina hubungan dengan anak-anak yang sulit menyesuaikan diri, tapi perlu diingat agar suasana diciptakan sedemikian rupa sehingga anak tidak merasa dipaksa atau terpaksa. Kadang-kadang diperlukan beberapa kali pertemuan atau kegiatan bersama anak sampai anak merasa lebih bebas, relaks. Karena kegiatan bermain tidak akan muncul bila anak merasa asing dengan lingkungannya.
2. Manfaat terapi bermain
Bermain dapat digunakan sebagai media psikoterapi atau “pengobatan” terhadap anak yang dikenal dengan sebutan terapi bermain. Bermain dapat digunakan sebagai media terapi karena selama bermain perilaku anak akan tampil lebih bebas, dan bermain adalah sesuatu yang secara alamiah sudah terberi pada seorang anak. Untuk melakukan terapi ini diperlukan pendidikan dan pelatihan khusus dari ahli yang bersangkutan dan tidak boleh dilakukan dengan sembarangan.
3. Fungsi bermain dalam perkembangan kompetensi diri
a. Bermain dapat merangsang perkembangan kognitif anak. Dengan bermain anak dapat menyelidiki lingkungan belajar tentang objek dan penyelesaian masalah
b. Bermain mempelancar perkembangan sosial anak. Khususnya dalam bermain fantasi dan khayalan dengan bermain peran, anak belajar mengerti oranglain dan bermain peran yang akan diperankan apabila bertambah usianya.
c. Bermain memungkinkan anak menyelesaikan masalah emosi. Anak belajar mengetasi ketakutan, konflik dalam dirinya dengan situasi yang tidak mengancam.
4. Permainan untuk memfasilitasi ekspresi diri dapat berupa bentuk-bentuk berikut:
1. Mainan kehidupan nyata. Boneka yang terdiri atas keluarga (ibu, bapak, anak), boneka rumah-rumahan, binatang peliharaan, atau tokoh kartun dapat menjadi media untuk mengekpresikan perasaan secara langsung. Terapis juga dapat menggunakan mainan keseharian seperti mobil-mobilan, alat masak memasak tiruan, kartu bergambar , atau kapal-kapalan untuk melihat pengalaman hidup klien.
2. Mainan pelepas agresivitas-bermain peran. Klien dapat mengkomunikasikan emosi yang terpendam melalui mainan atau materi seperti karung tinju, boneka tentara, boneka dinosaurus dan hewan-hewan buas, pistol dan pisau mainan, boneka orang, dan balok kayu.
3. Mainan pelepas emosi dan ekspresi kreativitas. Pasir, air, balok, atau lilin dapat menjadi sarana klien mengekspresikan emosi atau kreativitasnya.
Daftar Pustaka:
Tedjasaputra, S, Mayke. (2001). Bermain, mainan, dan permainan untuk pendidikan usia dini. Jakarta: PT Grasindo.
Langganan:
Postingan (Atom)